
Foto: Nirfan Rifki
Menangkal Beban di Jalur Onroad
Adzan Maghrib sontak terdengar saat kami akan memulai perjalanan panjang membelah jalur Jatiluhur menuju Cariu,
Tujuh orang kru Cycling ikut menjadi saksi betapa gelapnya jalan aspal Waduk Jatiluhur yang berada di Desa Kutamanah ini. Ditambah lagi, kami tidak menemukan jejeran rumah penduduk di kanan dan kiri jalan. Kengerian melanda kami. Kami takut kalau tiba-tiba ada orang ”iseng” mengerjai. Sampai-sampai kami berusaha sekuat tenaga dan sekencang-kencangnya untuk mengayuh, walaupun gelap sekalipun. Karena jalannya banyak yang berlubang dan ada beberapa yang digenangi air, mau tak mau kami pun melibasnya begitu saja. Ya, karena itu tadi, jalan sangatlah gelap.
Setelah kira-kira 2 km kami mengenjot, syukurlah sudah mulai terlihat kerlap-kerlip lampu rumah penduduk. Tak lama kemudian, kami sudah bisa singgah di sebuah warung. Kami pun beristirahat dan tak lupa bertanya-tanya ke pemilik warung tentang jalan yang akan kami lalui. Pemilik warung, yang akhirnya kami ketahui bernama Bahar, memberi bocoran kalau jalan yang akan kami lalui ini bisa tembus sampai ke Cariu. ”Asal banyak tanya supaya engga nyasar,” katanya.
Di warung Bahar inilah kami menyiapkan lampu sebagai ”teman” diperjalanan night ride ini. Tak seperti biasanya, kami tak membawa peralatan memasak semacam kompor, panci kecil dan lainnya. Kami pun tidak membawa bekal makanan untuk diperjalanan. Yang ada hanyalah beberapa botol air mineral. Pengalaman yang sudah-sudah, peralatan memasak tadi memang jarang sekali dipakai. Makanya, hitung-hitung beban yang ada di pundak kami selama berjelajah dulu, kini tak ada lagi.
Perjalanan kami lanjutkan setelah hampir setengah jam nongkrong di warung Bahar. Karena sudah ada lampu yang kami taruh di helm dan setang, kami tak perlu kuatir lagi akan kejeblos lubang, nyusruk ke dalam genangan air, atau malah nyeruduk batu-batu besar di tengah jalan. Di tengah jalan, kami sempat melihat pemandangan kota dengan lampu-lampunya yang berjejer rapi. Mungkin Anda sering melihat kerlap-kerlip lampu perkotaan di malam hari dari atas bukit. Seperti misalnya dari puncak. Tapi yang terlihat dari puncak, jejeran lampunya tidak rapi. Nah, kalau yang ini sangatlah rapi. Deretannya panjang sebanyak empat sap (susun) dan terlihat seperti sebuah kotak. Benar-benar indah. Tapi sayangnya, kami tak tahu apa nama kota itu karena tak ada orang yang dapat kami tanyai.
Kamipun melanjutkan perjalanan. Ternyata jalur ini sangat sulit untuk ditaklukan. Walaupun berupa jalan aspal, tapi karena sudah banyak yang rusak, kami rada-rada kesulitan saat akan menanjak ataupun melalui turunan. Akhirnya kami kena batunya. ”Ban belakang bocor nih,” kata Tomi. Tomi hampir saja celaka bila tidak cepat-cepat sadar kalau bannya sudah kehabisan angin. Kejadian ini berlangsung saat kami semua melahap turunan berbatu dengan sangat kencang. Nah, saat melewati batu yang sangat besar, ban belakang sepeda Tomi nyangkut dan terpental ke atas. Mungkin saat itulah bannya ikut bocor. Tapi kejadian ini dengan cepat bisa diatasi karena kami sigap akan hal-hal seperti itu. Ban dalamnya diganti dengan yang baru.
O iya, selain Tomi, kru Cycling yang ikut adalah Nirfan, Yoga, Doni, Rahmat, Hendrik, dan saya sendiri.
Tak jauh dari tempat kami mengganti ban, kami memutuskan beristirahat di sebuah warung yang ada di bibir Waduk Jatiluhur. Nurdin, sang pemilik warung, mengizinkan kami untuk menginap di situ sambil menikmati makan malam berupa ikan bakar buatannya.
Onroad yang Sangat Panas
Sinar matahari pagi menyilaukan kami yang sedang terlelap tidur. Tandanya, kami sudah harus bersiap lagi untuk memulai perjalanan. Ternyata tak jauh dari tempat kami menginap terpampang pemandangan indah waduk Jatiluhur dengan bukit-bukit yang berbaris rapi. ”Kaya’ di Bali ya,” ucap Hendrik. Hendrik memang pernah berjelajah sepeda di Bali, makanya ia yakin benar kalau pemandangan ini mirip dengan yang ada di sana.
Tapi pemandangan indah waduk ini merupakan yang terakhir dapat kami nikmati di sisa perjalanan menuju Cariu. Karena selanjutnya, perjalanan ini begitu menyiksa dengkul dan seluruh badan kami. Menyiksa dengkul karena begitu banyak tanjakan curam yang harus dilalui. Belum lagi hadangan lain dengan licinnya permukaan jalan. Siksaan bagi badan kami datang karena cuaca begitu panas. Sengatan sinar matahari di siang hari menyegat tubuh kami. Itu terjadi saat kami melewati kabupaten Karawang. Hamparan pemandangan sawah nan indah pun seolah luput dari perhatian karena kami begitu lelah dan selalu berusaha menghindari pancaran sinar matahari. Pohon sekecsil apapun selalu kami manfaatkan sebagai tempat berteduh.
Puluhan kilometer sudah kami lalui ketika sampai di Pasar Loji, memasuki daerah Cariu. Kami sudah tak kuat lagi menggenjot. Nafas terengah-engah dan bawaannya selalu ingin mereguk air di dalam botol mineral yang kami bawa. Karena perjalanan ini sudah tak mungkin diteruskan, yang disebabkan lelahnya badan kami dan juga sulitnya melewati jalan karena banyaknya hadangan truk-truk besar, maka kami pun memutuskan berhenti.(Januari 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar